Sejarah Kerambit

Loading

 

Kerambit adalah pisau genggam kecil berbentuk melengkung dari Asia Tenggara, khususnya IndonesiaMalaysia, dan Filipina. Negara Barat menyebut pisau ini karambit, sedangkan di Minang disebut kurambiak/karambiak[1]. Senjata ini termasuk senjata berbahaya karena dapat digunakan menyayat maupun merobek anggota tubuh lawan secara cepat dan tidak terdeteksi. 

Asal mula

Berdasarkan sejarah tertulis, kerambit berasal dari Minangkabau, lalu kemudian dibawa oleh para perantau Minangkabau berabad yang lalu dan menyebar ke berbagai wilayah, seperti JawaSemenanjung Melayu dan lain-lain. Menurut cerita rakyat, bentuk kerambit terinspirasi oleh cakar harimau yang memang banyak berkeliaran di hutan Sumatra pada masa itu[2].Senjata di sebagian besar kawasan nusantara, pada awalnya merupakan alat pertanian yang dirancang untuk menyapu akar, mengumpulkan batang padi dan alat pengirikan padi. Namun berbeda dengan kerambit, ia sengaja dirancang lebih melengkung seperti kuku harimau, setelah melihat harimau bertarung dengan menggunakan cakarnya, hal ini sejalan dengan falsafah Minangkabau yang berbunyi Alam takambang jadi guru. Kerambit akhirnya tersebar melalui jaringan perdagangan Asia Tenggara hingga ke negara-negara, KambojaLaosMalaysiaMyanmarFilipina dan Thailand.Buku sejarah di Eropa mengatakan bahwa tentara di Indonesia dipersenjatai dengan keris di pinggang dan tombak di tangan mereka, sedangkan kerambit itu digunakan sebagai upaya terakhir ketika senjata lain habis atau hilang dalam pertempuran. Kerambit terlihat sangat jantan, sebab ia dipakai dalam pertarungan jarak pendek yang lebih mengandalkan keberanian dan keahlian bela diri. Para pendekar silat Minang, terutama yang beraliran silat harimau sangat mahir menggunakan senjata ini. Para prajurit Bugis Sulawesi juga terkenal untuk keahlian mereka dalam memakai kerambit. Saat ini kerambit adalah salah satu senjata utama silat dan umumnya digunakan dalam seni beladiri.

 

Keberadaan kerambit di dunia

Dengan makin populernya seni bela diri Pencak Silat, mulai tahun 1970-an, senjata inipun semakin populer walaupun berlangsung lambat. Puncaknya pada tahun 2005, beberapa perusahaan besar AS seperti Emerson Knives dan Strider Knives membuat pisau kerambit dalam jumlah banyak. Pelopor penggunaan kerambit adalah Steve Tarani yang mempunyai dasar kerambit dari Silat Cimande Sunda. Saat ini kerambit telah dikembangkan pihak barat dengan banyak varian.Di Indonesia sendiri kerambit di pakai oleh Silat Sumatra seperti Silat Harimau/Silek Harimau Minangkabau dengan sebutan kurambiak/karambiak. Untuk kerambit asal Sumatra, catatan tertua yang ditemukan adalah penggunaan kerambit yang ditulis pada Asian Journal British, July – Dec 1827.Meskipun kerambit adalah senjata wajib personel US Marshal, tetapi di Indonesia sendiri kurang begitu populer. Hal ini dikarenakan senjata ini bersifat senjata rahasia yang mematikan serta tidak ada upaya pemerintah maupun militer Indonesia dalam hal ini TNI untuk menggunakan ataupun melestarikannya.

Teknik penggunaan

Penggunaan kerambit

Senjata dipegang dengan memasukkan jari pertama atau telunjuk ke dalam lubang di bagian atas pegangan sehingga lengkungan pisau mengarah ke depan dari bagian bawah kepalan tangan. Hal ini terutama digunakan dalam pemotongan dengan cara memutar tangan ketika kerambit telah masuk atau mengenai sasaran, sehingga bagian dalam dari sasaran, seperti urat, usus dan lainnya menjadi putus. Luka akibat kerambit terlihat kecil dari luar, tetapi didalamnya, urat atau usus telah putus. Dengan masuknya jari telunjuk ke dalam lobang gagang kerambit, membuat lawan sulit untuk melucuti senjata tersebut dan memungkinkan kerambit untuk bermanuver di jari-jari tanpa kehilangan pegangan.

Kelebihan kerambit

Penggunaan kerambit dengan cara yang berbeda

Kelebihan dari kerambit adalah:

  • Bentuknyah kecil dan mudah disembunyikan
  • Sulit untuk dilucuti dalam pertarungan
  • Jarak bisa berubah tanpa mengubah langkah
  • Bisa untuk dua serangan dalam satu gerakan tangan
  • Lebih membuat robekan besar untuk gerakan-gerakan tarikan yang mematikan
  • Serangan dapat lebih cepat dengan pegangan standart secara pukulan jab

Jenis kerambit

Meski secara umum bentuk kerambit adalah sama yaitu melengkung dan memiliki lobang dibagian pegangannya, tetapi dalam perkembangannya kerambit memiliki beberapa varian. Dari bilah tajamnya terbagai menjadi dua yaitu tajam tunggal dan tajam ganda (double edges). Sedangkan di Indonesia sendiri, kerambit ada dua yaitu kerambit Jawa Barat dan kurambiak/karambiak Minang. Kerambit Jawa Barat biasanya memiliki lengkungan yang membulat, sedangkan kerambit Minang memiliki lengkungan siku.Beberapa jenis kerambit di Nusantara:

Referensi

  1. ^ D.S, Farrer (2009). Shadows of the Prophet: Martial Arts and Sufi Mysticism. Springer Science & Business Media. hlm. 91. ISBN978-1-4020-9356-2.
  2. ^ Mulyana, Agus (2010). “KERAMBIT: Senjata Genggam Khas Minangkabau”. Diakses tanggal 09-10-2014.

Sumber : Wikipedia

Sejarah Kujang

Loading

Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan Nusantara, Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis.
Kujang memiliki karakteristik bagian, antara lain : papatuk/congo (ujungkujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah(lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang. Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan sakti, sebagai jimat,sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur.Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagimasyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”.

Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi danbentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara) dan Kujang Pamangkas(sebagai alat berladang). Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan), Kujang Ciung (menyerupai burung ciung), Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango), Kujang Badak (menyerupai badak), Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga) dan Kujang Bangkong(menyerupai katak). Disamping itu terdapat pula  bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.

Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

Dengan perkembangan kemajuan,teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral.

Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12. Pada tahun 1170 ada perubahan pada Kujang tersebut. Nilainya sebagai jimat atau jimat secara bertahap diakui oleh para penguasa dan bangsawan dari Kerajaan Pajajaran Makukuhan, khususnya pada masa pemerintahan Prabu Kudo Lalean. Dalam salah satu retret spiritualnya, Kudo Lalean diperintahkan melalui visi paranormal untuk mendesain ulang bentuk Kujang agar sesuai dengan bentuk dari Pulau “Djawa Dwipa,”.

Kemudian raja menugaskan kedaulatan kerajaan pandai besi, Mpu Windu Supo,  untuk membuat kujang yang memiliki kualitas mistis dan filsafat spiritual,yang unik dalam desain,agar  generasi masa depan akan selalu mengasosiasikan dengan kerajaan Pajajaran Makukuhan. Setelah periode meditasi, Mpu Supo Windu memulai dengan Penciptaan sebuah prototipe dari Kujang tersebut,yang memiliki dua karakteristik menonjol,yaitu bentuk pulau Jawa dan tiga lubang atau takik di sekitar kujang.

Bentuk pulau Jawa diartikan sebagai bentuk penyatuan semua kerajaan kecil Jawa menjadi kerajaan tunggal, dipimpin oleh raja Makukuhan. Tiga lubang atau takik bundar untuk mewakili Trimurti, atau tiga aspek yang didewakan agama Hindu (Brahma, Wisnu, dan Siwa). Trinitas Hindu juga diwakili oleh tiga kerajaan utama yaitu kerajaan Pengging Wiraradya, terletak di sebelah timur Jawa, Kerajaan Kambang Putih, terletak di utara timur pulau, dan kerajaan Pajajaran Makukuhan , terletak di barat.

Ketika pengaruh Islam masuk dan berkembang, Kujang mengalami perubahan bentuk  menyerupai huruf Arab “Syin.” Ini adalah  metode dari penguasa wilayah Pasundan, Prabu Kian Santang, yang ingin mengubah rakyat menjadi Islami. Karena sebelumnya  Kujang tersebut mewujudkan filosofi Hindu dan agama dari budaya yang ada. Syin adalah huruf kedua dari ayat syahadat setelah Alif ,maksudnya yang satu bersaksi untuk menyaksikan dari Allah Tunggal dan Nabi Muhammad (diberkati dalam nama-Nya) sebagai utusan.
Modifikasi dari Kujang  secara geografis sesuai dengan wilayah Pasundan atau Jawa barat agar sesuai dengan bentuk huruf  Syin. Kujang dimaksudkan untuk mengingatkan pemilik akan kesetiaan kepada Islam dan ketaatan terhadap ajaran-ajarannya.
Lima lubang atau takik bulat di Kujang menggantikan tiga dari Trimurti. Mereka mewakili lima rukun Islam.
Kujang bukan sekadar senjata pusaka. Kujang merupakan simbol ajaran ketuhanan tentang asal usul alam semesta yang dijadikan dasar konsepsi sistem ketatanegaraan Sunda purba. Bentuknya merupakan manifestasi wujud manusia sebagai ciptaan yang sempurna. Wujud kujang merupakan manifestasi alam semesta.
Sumber : DakwahIslam

Sejarah Golok Sunda

Loading

Pengertian Golok

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005, golok adalah sejenis parang atau pedang yang berukuran pendek. Sedangkan parang sendiri adalah pisau besar namun lebih pendek dari pedang:

Sedangkan arti golok dalam Kamus Umum Basa Sunda oleh Lembaga Basa & Sastra Sunda (Penerbit Tarate Bandung tahun 2000), golok adalah bedog, perabot atau alat untuk memotong.

Dalam Ensiklopedi Sunda (Pustaka Jaya 2000) diuraikan pengertian bedogyang merupakan nama alat tajam dari besi baja, ada yang berupa pakakas(perkakas) dan ada yang berupa pakarang (senjata). Bedog, baik yang berupa pakakas maupun yang berupa senjata, dalam bahasa Indonesia disebut golok atau parang.

Dari uraian baik dalam kamus maupun ensiklopedi pengertian golok adalah sama dengan bedog. Golok adalah istilah atau nama dalam bahasa Indonesia untuk perkakas atau senjata tajam yang terbuat dari besi baja, yang dalam bahasa Sunda disebut bedog.

Melengkapi pengertian golok dari kamus dan ensiklopedi diatas, secara fisik golok (bedog dalam bahasa sunda, bendo dalam bahasa jawa, parang bahasa melayu) adalah nama alat yang termasuk ke dalam perkakas dan senjata tajam, ukurannya lebih besar dari pisau namun lebih pendek dari pedang, memiliki bilah tebal dan lebar yang terbuat dari logam.

Bentuk Golok Sunda

 

Golok atau bedog sunda sangat beragam, karena tiap daerah di Jawa Barat memiliki variasi bentuk tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan, fungsi, dan karakteristik masing-masing masyarakat penggunanya. Golok (bedog) sunda umumnya memiliki bilah dengan panjang lebih kurang 30 cm sampai dengan 40 cm, namun ada pula bilah golok yang berukuran pendek atau kurang dari 30 cm. Golok (bedog) sunda yang memiliki panjang bilah lebih dari 40cm disebut kolewang atau gobang.

Bagian utama dari sebuah golok adalah bilah (wilah) dan penamaan golok umumnya berdasarkan pada bentuk bilahnya yang terbuat dari campuran besi dan baja. Bahan baku yang umum digunakan oleh pengrajin golok di Jawa Barat saat ini adalah lempengan per bekas mobil. Bahan ini relatif mudah didapat di tempat penjualan besi bekas. Per mobil bekas digunakan selain karena lebih murah dari bahan baku yang baru, juga karena merupakan campuran besi dan baja yang cocok untuk golok.

Bilah golok dimulai dari buntut atau paksi, yaitu bagian ekor pada pangkal bilah yang dimasukkan pada pegangan golok (perah). Badan bilah terdiri dari perut (beuteung), yaitu bagian sisi yang tajam. Sedangkan bagian yang tumpul dinamakan punggung (tonggong). Ujung bilah golok disebut dengan congo.

Punggung bilah golok sunda ada yang lurus ada pula yang berpunggung melengkung atau dalam istilah sunda bentik.

Golok sunda umumnya memiliki bentuk gagang atau perah yang melengkung dan memiliki ujungnya berbentuk bulat (eluk). Bentuk perah yang agak miring dan melengkung berfungsi agar golok dapat digenggam dengan kuat dan nyaman. Bentuk ujung perah yang bulat berfungsi agar jari kelingking terkait, menahan genggaman tangan agar tidak lepas tergelincir.

Perah kebanyakan dibuat dari bahan kayu dan tanduk kerbau, selain itu juga digunakan tanduk rusa dan tulang hewan sesuai dengan permintaan.

Sarung golok disebut sarangka, fungsi utamanya adalah agar golok dapat mudah dan aman untuk dibawa, diselipkan (disoren) dipinggang. Bentuk sarangka mengikuti bentuk bilah di dalamnya, bila bentuk bilah melengkung maka bentuk perah pun dibentuk melengkung.

Seperti perahsarangka juga umumnya terbuat dari kayu. Adapula ditemukan sarangka yang terbuat dari kulit hewan, tetapi ini sangat jarang. Sarangka yang dilengkapi dengan asesoris tambahan berupa gelang-gelang pengikat (simpay) yang terbuat dari tanduk kerbau atau lembaran logam yang disebut dengan barlen.

Jenis Golok Sunda

Jenis atau bentuk golok (bedog ) sunda sangat beragam, karena tiap daerah di Tatar Sunda memiliki variasi bentuk tersendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan, fungsi, dan karakteristik masing-masing masyarakat penggunanya.

Di Tatar Sunda ditemukan beberapa bentuk golok dengan nama yang sama namun bentuknya berbeda di daerah lain, serta sebaliknya bentuk golok yang sama tetapi memiliki sebutan nama yang berbeda di lain daerah.Pada tulisan ini nama sebutan dan bentuk golok menggunakan data dari golok sunda yang ada di Ciwidey Kabupaten Bandung Jawa Barat.

Berdasarkan kegunaan golok sunda dapat dibedakan menjadi dua, yaitu golok pakai/bedog gawé /pakakas, selanjutnya disebut dengan bedog gawé, dan golok sorén/golok silat/pakarang, selanjutnya disebut golok pakarang. Golok yang berupa pakarang digunakan untuk beladiri/berkelahi (silat) atau setidaknya sebagai ganggaman (pegangan) yang di-sorén dipinggang oleh para pendekar atau jawara (Banten, Betawi), oleh karena itu selalu memakai sarangka (sarung). Sedangkan bedog yang berupa pakakas ada yang memakai sarangka dan ada pula yang tidak.

Bedog Gawé

Berdasarkan fungsi dan penggunaannya bedog gawé dapat dikelompokkan menjadi :

Bedog Daging / Dapur

Bedog Kalapa

Bedog Pamilikan

Bedog Kebon

Bedog Sadap

Bedog Pamoroan

Golok Pakarang

Tidak ada perbedaan bentuk antara wilah bedog gawe dengan golok pakarang. Namun Golok pakarang selalu dilengkapi sarangka agar golok dapat di-soren. Golok pakarang umumnya dibuat sesuai dengan keinginan pemesannya, dibuat lebih halus, dan dihias (diberi ukiran).

Pakarang adalah senjata-senjata yang dibuat khusus untuk para raja dan petinggi-petinggi di lingkungan kerajaan. Dalam pembuatan pakarang tentu menggunakan bahan terbaik dan teknik khusus. Ciri fisik dari pakarang yang mudah terlihat adalah pamor pada bilah pakarang seperti keris, kujang dan golok. Pamor adalah bentuk logam hasil olahan dari pencampuran sejumlah jenis logam yang berbeda, yang ditempa dan dilipat menjadi satu sehingga menghasilkan tekstur/pola tertentu pada permukaannya. Pakarang yang menggunakan besi pamor akan lebih kuat dan awet karena besi hasil olahan ini telah ’matang’ dibandingkan dengan besi/ logam biasa. Unsur estetika pada golok pakarang lebih diperhatikan dibandingkan dengan bedog gawe yang lebih mengutamakan unsur fungsi. Penekanan pada unsur estetika atau ornamen tentunya sedikit banyak mengurangi fungsionalitas golok sebagai perkakas.

Golok pakarang berpamor tidak dijumpai sebanyak keris dan kujang, kemungkinan bentuknya yang besar dan sederhana kalah artistik dengan kujang dan keris, sehingga tidak banyak dibuat. Namun golok berpamor yang disebut dengan golok sulangkar masih dibuat dan dapat jumpai terutama di Ciomas Banten, walaupun pembuatannya hanya setahun sekali yaitu pada tanggal 14 Maulud penanggalan Islam.

Sumber : GolokSunda

Sejarah Golok Betawi

Loading

Golok Khas Betawi

Senjata merupakan kepanjangan tangan manusia dalam usaha membela diri secara fisik. Perkembangannya dipengaruhi oleh kebudayaan dan lingkungan alam, maka sering ditemukan kesamaan model senjata antara satu dengan lain daerah yang letak geografisnya berdekatan.

Tak sedikit senjata yang berangkat dari alat pertanian atau perkakas sehari-hari, yang lantas mengalami perkembangan dan penyesuaian pada bentuk serta fungsinya sebagai senjata untuk bertarung.

Proses asimilasi dan transformasi kebudayaan pada suatu daerah, meski letak geografisnya berjauhan, memegang peranan cukup penting dalam perkembangan model senjata tradisional. Proses ini terjadi pada satu kebudayaan dengan karakter terbuka, seperti kebudayaan Melayu yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India (abad ke-1 M) dan Cina (abad ke-16 M).

Bagi masyarakat Betawi yang menurut arkeolog Uka Tjandrasasmita merupakan penduduk asli Sunda Kelapa (Monografi Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran, 1977), memiliki senjata tradisional yang belum terpengaruh kebudayaan asing sejak zaman Neolithikum atau zaman Batu Baru (3000-3500 tahun lalu).

Hal ini dapat ditemukan pada bukti arkeologis di Jakarta dan sekitarnya, di mana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum, dan pada tempat-tempat tertentu sudah didiami manusia. Beberapa tempat yang diyakini berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.

Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang kayu, disimpulkan bahwa cikal bakal masyarakat Betawi sudah mengenal pertanian (mungkin perladangan) dan peternakan.

Bahkan mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur. Senjata maen pukulan Betawi banyak ragamnya, mulai dari senjata asli sampai hasil asimilasi dengan kebudayaan asing. Ada pula senjata khusus untuk kaum hawa, yang menunjukkan maen pukulan tidak hanya didominasi pria. Hal ini tertuang dalam cerita rakyat Betawi tentang kehebatan Mirah Singa Betina dari Marunda, dan Nyi Mas Melati dari Tangerang.

Namun dari sekian banyak senjata yang digunakan, golok merupakan yang paling umum ditemukan menjadi senjata pegangan orang Betawi. Hingga Golok menjadi senjata yang khas meski senjata jenis bacok ini juga menjadi senjata yang umum digunakan oleh beberapa etnis, terutama etnis yang secara wilayah berdekatan dengan Betawi seperti Banten dan Sunda.

Golok yang merupakan senjata tajam ini umum ditemukan pada masyarakat Melayu, namun penamaannya berlainan berdasarkan daerahnya. Sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa menyebut senjata jenis “bacok” ini golok.

Pada masyarakat Betawi keberadaan golok sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa Barat. Kepopuleran golok melahirkan ungkapan “bukan lelaki Betawi namanya kalau tidak memiliki golok”.

Masyarakat Betawi membagi golok ke dalam dua golongan, yaitu Golok Gablongan dan Golok Sorenan. Golok gablongan adalah perkakas yang biasa digunakan untuk pekerjaan sehari-hari seperti memotong kayu dan pohon. Ada juga yang menyebutnya bendo atau golok dapur.

Sedangkan golok sorenan hanya sewaktu-waktu digunakan, untuk keperluan di luar pekerjaan harian. Golok sorenan dibedakan menjadi dua, yaitu Golok Sorenan Simpenan untuk memotong hewan (kambing, kerbau, dan sapi) dan Golok Sorenan Pinggang untuk menjaga diri atau bertarung, yang selalu diselipkan di pinggang.

Terkadang golok ini menjadi senjata pusaka yang diwariskan turun temurun. Para lelaki atau jago Betawi menempatkan golok sebagai senjata sakral yang tidak boleh diperlihatkan apalagi dimain-mainkan di depan umum.

Sumber : SejarahJakarta.com